Jakarta (21/4) — Tujuh dekade setelah Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung pada 18 April 1955, semangat solidaritas dan kemandirian bangsa-bangsa berkembang masih relevan hingga hari ini. Hal itu disampaikan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof. Singgih Tri Sulistiyono, dalam refleksinya terhadap peringatan 70 tahun KAA.
“Konferensi Asia-Afrika adalah bukti nyata inisiatif lokal dan nasional Indonesia dalam merespons tantangan global saat dunia tengah terbelah oleh Perang Dingin,” ujar Prof. Singgih. Menurutnya, Indonesia sejak awal tidak mau menjadi objek globalisasi, melainkan ingin menjadi subjek yang aktif membentuk arah globalisasi itu sendiri.
KAA 1955 digagas di tengah memuncaknya ketegangan antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang dikuasai Uni Soviet. Negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka menjadi ajang perebutan pengaruh. Namun, alih-alih ikut terseret dalam konflik ideologis, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno justru memprakarsai KAA untuk menyuarakan sikap independen.
Kini, 70 tahun kemudian, dinamika global kembali menghadirkan ketegangan serupa. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok serta munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS, menunjukkan bahwa dunia kembali berada dalam pusaran rivalitas besar.
“Memang terlihat bahwa kita hidup di dunia multipolar. Tapi jika dicermati lebih dalam, nuansa bipolar tetap kuat terasa,” jelas Prof. Singgih. Ia menambahkan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya di Barat masih mempertahankan dominasi global, sementara Tiongkok dan Rusia memimpin blok alternatif yang menantang tatanan unipolar tersebut.
Menurut Prof. Singgih, meskipun anggota BRICS tidak sepenuhnya memiliki kesamaan ideologi, mereka dipersatukan oleh kepentingan bersama untuk menciptakan sistem dunia yang lebih setara dan bebas dari dominasi tunggal.
Dalam konteks ini, semangat KAA dinilai masih sangat relevan. Bukan hanya sebagai simbol anti-kolonialisme, melainkan juga sebagai tawaran visi dunia yang kolaboratif, adil, dan berlandaskan kesetaraan.
Namun, Prof. Singgih mengingatkan bahwa kontribusi Indonesia di tingkat global tak bisa dilepaskan dari kekuatan internal bangsa. “Kalau keadaan dalam negeri kita keropos, maka bagaimanapun juga kita tidak akan memiliki ruang dalam pergaulan internasional,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa penguatan jati diri bangsa, termasuk nilai-nilai Proklamasi dan Pancasila, harus menjadi fondasi utama agar Indonesia dapat kembali berperan aktif dalam membentuk tatanan dunia yang baru.
“Hanya dengan memperkuat kembali semangat negara Pancasila, kita bisa menjadi negara yang maju dan berwibawa. Baru setelah itu, kita bisa ikut memberikan kontribusi nyata dalam membentuk tata dunia baru,” pungkas Prof. Singgih.