(Bogor, 08/06) – Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, menyampaikan bahwa persoalan besar yang dihadapi dalam kehidupan beragama adalah bangkitnya radikalisme. Pihak-pihak yang mengaku paling benar dalam beragama sering kali memicu kekerasan sektarian, yang saat ini menjadi masalah di berbagai negara. Namun, KH Chriswanto menegaskan bahwa Pancasila, sebagai falsafah bangsa Indonesia, merupakan rahmat yang memiliki peran sangat besar dalam mengatasi radikalisme di tengah masyarakat.
“Pancasila tidak memiliki pertentangan dengan agama-agama di Indonesia. Justru, nilai-nilai Pancasila memperkokoh nilai-nilai dalam agama itu sendiri, dan kesesuaian tersebut membuat Pancasila menempati ruang tersendiri bagi umat beragama di Indonesia,” tutur KH Chriswanto.
Meskipun demikian, KH Chriswanto mengungkapkan bahwa pembumian nilai-nilai Pancasila di sekolah dasar, menengah, dan atas masih menemui kendala. Beberapa guru masih belum mampu memberikan contoh konkret tentang bagaimana mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari bagi para siswa. Bahkan, di jenjang perguruan tinggi, pendidikan Pancasila sudah tidak lagi ditemukan.
Ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman mengenai Pancasila menjadi masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. KH Chriswanto menjelaskan bahwa Pancasila adalah kutub moderat yang mampu mengurangi tensi tinggi dalam keresahan sosial terkait suku, agama, dan ras di Indonesia. Sebagai bangsa yang sangat plural, Indonesia ditakdirkan untuk menjadi bangsa yang menghormati keberagaman.
LDII menyambut baik penetapan 1 Juni sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila. Peringatan tersebut bukan sekadar seremoni belaka, tetapi juga menjadi pengingat dan evaluasi tentang sejauh mana penanaman nilai-nilai Pancasila dilaksanakan di majelis taklim, pondok pesantren, sekolah, dan perguruan tinggi yang bernaung di bawah LDII.
“Kami menginstruksikan agar pondok pesantren berkonsep boarding school dan tradisional melaksanakan upacara bendera. Seremoni tersebut menjadi momen yang penting untuk menyadarkan dan mengevaluasi sejauh mana para siswa dan santri mampu menjadi individu yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila,” ujar KH Chriswanto.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Pengasuh Ponpes Al Ubaidah Kertosono, Nganjuk, sekaligus pengurus Departemen Pendidikan Keagamaan dan Dakwah (PKD) DPP LDII, Habib Ubaidillah Al Hasany. Ia mengatakan alumni-alumni ponpes LDII, ditempa dalam bingkai nasionalisme. Kurikulum ditata selain mengenai kitab-kitab rujukan beragama juga mengenai wawasan kebangsaan, “Untuk keperluan itu, kami mengundang Muspida, Kementerian Agama, TNI-Polri, Kejati, dan MUI untuk memberikan pembekalan,” ujar Habib Ubaid.
Menurutnya, LDII menyadari benar bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keberagaman. Pluralisme bangsa Indonesia tanpa ideologi pemersatu seperti Pancasila, bakal buyar bahkan berpecah-belah. Pancasila, bagi Habib Ubaid menjadi konsensus dari kondisi bangsa Indonesia yang plural.
“Di pesantren, mereka kami jauhkan dari paham radikalisme. Saat mereka menjadi juru dakwah, mereka telah memiliki pondasi kuat dalam memandang keberagaman itu. Sehingga tetap bertoleransi, saling menghormati dan berakhlakul karimah atau berbudi luhur di tengah masyarakat. Dan bisa mendeteksi dini dan menghindari pergaulan yang memicu radikalisme,” imbuhnya.
Persoalan besar yang dihadapi umat beragama di Indonesia hari ini, adalah kemudahan mengakses informasi termasuk pemanfaatan informasi terkait paham-paham tertentu. Radikalisme kini sangat mudah disebarkan melalui media sosial, “Kami terus mengupayakan agar generasi muda LDII memanfaatkan internet secara bijak, tidak termakan hoaks apalagi memproduksinya. Nilai-nilai Pancasila ditanamkan sejak dini agar mereka tidak terpapar radikalisme,” pungkas Habib.
